Merebaknya wabah demam babi Afrika akibat virus African Swine Fever (ASF) yang terdeteksi telah menjangkiti 19 kabupaten/kota di sumatera utara yang menyebabkan kematian babi sejak 25 September 2019 membuat masalah yang bukan hanya dialami oleh usaha ternak babi.
Bagi pemilik ternak babi, sudah pasti kematian babi adalah kerugian secara materi. Dimana babi yang telah mati tidak bisa untuk dijual lagi. Sementara isu wabah yang menyebar di kalangan para konsumen pengguna daging babi menyebabkan menurunnya permintaan daging babi. Sementara babi yang masih sehat, besar kemungkinan akan terserang wabah di wilayah yang telah mengalaminya.
Bukan hanya itu, kematian babi yang begitu banyak, membuat pemiliknya kesulitan untuk melakukan penguburan. Ditempuhlah jalur cepat dengan membuang bangkainya ke sungai. sungai pun tercebar dan bau bangkai yang sangat menyengat mengganggu penduduk sekitar sungai.
Salah satu contoh, Danau siombak yang ada di medan sempat tercemari bangkai babi dan akhirnya dibersikan oleh pemerintah provinsi sumatera utara. Ada 106 bangkai babi yang diangkat lalu dikuburkan di sekitar danau tersebut.
Parahnya Wabah demam babi Afrika di Sumatera Utara (Sumut) hingga mendapat perhatian serius dari Kementerian Pertanian dengan membuka 102 posko darurat. Data dari Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional, sampai pekan ke-2 Desember 2019, sudah 28.136 ekor babi di Sumut mati dan mungkin jika ada data terbaru angka tersebut bisa saja bertambah.
Muncullah kekwatiran terganggunya proses pembibitan babi di wilayah sumut yang terjangkiti wabah. Lalu diwacanakan Pulau Nias menjadi daerah penyedia bibit babi di sumut. Wacana tersebut disampaikan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Azhar Harahap pada jumat (17/1/2020) yang lalu.
Bukan tanpa alasan melakukan pemilihan pulau nias sebagai wilayah untuk restock bibit babi. Pulau nias hingga saat ini masih bersih dari wabah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Azhar Harahap juga menyampaikan bahwa setengah dari populasi ternak babi di sumut ada di pulau nias. Saat ini populasi babi ada 1,23 juta ekor di sumut.
Wacana tersebut pun mendapatkan sambutan baik dari Bupati Nias Selatan, Hilarius Duha dan Anggota DPRD Sumut Dapil Kepulauan Nias, Pendeta Berkat Laoli. Dua tokoh tersebut menyampaikannya melalui media online. Hingga saat ini juga belum ada terkabarkan penolakan atas wacana tersebut.
Lalu bagaimana proses wacana itu akan diwujudkan, karena wacananya adalah pembibitan, artinya akan ada sejumlah babi yang dijadikan induk untuk nantinya menghasilkan anak babi. Lalu setelah beberapa bulan dibesarkan, anak babi tersebutlah yang akan di distribusikan ke luar pulau nias ke wilayah-wilayah di sumut untuk dilanjutkan pembesarannya hingga layak jual.
Untuk diketahui, ada 3 tipe babi yaitu babi tipe lemak, babi tipe daging dan babi tipe sedang. Perbedaannya dilihat dari bentuk dan daging serta lemak yang dihasilkan.
Meski pulau nias memiliki populasi babi yang tinggi, masih dijumpai masuknya babi hidup melalui jalur penyebrangan laut di pelabuhan. Pada 2010 yang lalu karena melihat hal tersebut saya sampai membuat tulisan " Beternak Babi Potensi Lapangan Pekerjaan".
Jika wacana menjadikan Pulau Nias sebagai restock tersebut benar diseriuskan. Maka hal yang pertama dilakukan adalah dengan mengeluarkan aturan bahwa babi tidak boleh lagi masuk ke Pulau Nias untuk di jual.
Dalam proses melakukan pembibitan perlu ada pelibatan masyarakat. Karena bisa saja proses pembibitan diserahkan kepada usaha ternak babi. Sehingga yang menguntungkan hanya pengusaha. Harusnya bantuan ternak diberikan juga kepada masyarakat secara perorangan atau kelompok, dengan kesepakatan, Anak babi yang dihasilkan nantinya dibagi secara proporsional.
0 Komentar
Silakan Tinggalkan Komentar