Beberapa hari kedepan siswa/i ditingkat Sekolah Menengah Atas dan yang Sederajat akan melaksanakan Ujian Nasional yang diselenggarakan serentang diseluruh Indonesia adalah agenda tahunan yang selalu memicu permasalahan. Hampir setiap tahun dibeberapa daerah akan ditemukan kecurangan pada pelaksanaan UN dimaksud.
Apalagi dampak yang disebabkan UN tersebut terhadap siswa yang tidak lulus memberikan kerugian yang sangat berarti. Antaralain kerugian biaya akibat bertambahny 1 tahun lagi masa sekolah. Disamping itu efek phisikologis yang diterima siswa/i tersebut begitu besar,bahkan mampu memberikan guncangan kejiwaan.
Pada tahun ini kontroversi UN yang bermula dari putusan MA tentang UN, awalnya membawa angin segar. Namun putusan tersebut sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan UN.
Perguruan tinggi yang akan menjadi Tim Pemantau Independen (TPI) kembali akan melaksanakan tugasnya. Seperti yang terjadi di kampusku IKIP Gunungsitoli telah menjaring mahasiswa yang akan menjadi Tim Pemantau tersebut. TPI ini diharapkan mengawasi agar tidak terjadinya kecurangan, padahal pelaksanaannya kelak TPI bagaikan manusia buta. Seperti pengakuan beberapa teman yang dengan terpaksa menerima uang dari pihat sekolah agar yang bersangkutan tidak persis di lokasi UN pada saat berlangsungnya ujian.
UN bagaikan hantu yang siap-siap memangsa para pelajar. Sehingga UN dihadapi bukan karena kemampuan yang dimiliki. Namun karena ketakutan tidak lulus. Beberapa bulan sebelum pelaksanaan UN siswa/i disibukkan dengan pelajaran tambahan sehingga mengurangi durasi waktu siswa/i tersebut untuk berkomunikasi dengan lingkungan disekitarnya. Kejadian tersebut membuat kejenuhan yang tidak habis-habisnya sehingga menyebabkan rasa bosan dalam membahas mata pelajaran.
UN yang pada tahun ini dipercepat juga memberikan efek buruk. Sebab dalam kurun waktu yang seharusnya 12 bulan seorang guru memberikan materi pelajaran telah berkurang menjadi 9 bulan. Sehingga pemberian materi pelajaran tidak efektif.
Keluh kesah dari pihak sekolah yang berada jauh dari kota juga tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah. Sekolah yang kurang memiliki unsur pendukung terlaksananya proses belajar mengajar yang baik dipaksakan turut serta dalam standarisasi UN yang telah ditetapkan setiap tahunnya. Sehingga untuk memenuhi hal tersebut pihak sekolah yang tidak menginginkan siswa/i-nya tidak lulus melakukan berbagai cara untuk membantu.
Semua kejadian pada UN setiap tahunnya tidak pernah di evaluasi, sehingga kejadian yang sama kerap terjadi kembali. Untuk itu sebaiknya UN tidak dijadikan sebagai suatu proses menentukan lulus. Kelulusan kiranya dikembalikan ke pihak sekolah untuk menentukan. Namun UN dilaksanakan sebagai cara mengukur mutu pendidikan sekolah atau daerah tertentu. Sehingga peningkatan mutu pendidikan lebih terarah.